
KONFRONTASI - DPR mendesak Polri agar penanganan tindak pidana terorisme harus sesuai prosedur operasi standar standard operating prosedure (SOP) untuk menghindari adanya penyimpangan kewenangan. Pada kasus penangkapan terduga teroris Siyono, diduga ada pelanggaran terhadap SOP yang dilakukan dua anggota Detasemen Khusus (Densus) 88.
Hal itu diutarakan Wakil Ketua DPR Benny K Harman setelah rapat kerja bersama Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, kemarin. Benny mengatakan penanganan tindak pidana terorisme harus disertai SOP yang jelas. Selain itu, SOP juga dipandang sebagai instrumen untuk mengukur tindakan Densus saat menangkap ataupun menahan terduga teroris.
“Untuk memberikan batasan supaya kewenangan yang diberikan tidak abuse of power, harus tetap ada pertanggungjawaban kepada publik. SOP menjadi instrumen untuk mengontrol apakah penanganan terorisme sebagaimana mestinya,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
Hasil autopsi terkait kematian Siyono yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah dengan kesimpulan telah terjadi penganiayaan, menjadi salah satu topik yang diulas oleh Komisi III.
Hasil autopsi tim dokter forensik Muhammadiyah menemukan lima tulang rusuk Siyono patah, serta satu tulang dadanya di bagian kanan juga patah dan menusuk jantung sehingga menyebabkan kematian.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Daeng Muhammad dan Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menyampaikan, pada dasarnya Komisi III mendukung sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan Polri. Namun, mereka memandang pentingnya dilakukan evaluasi penanganan tindak pidana terorisme.
Sementara itu, masukan dari Fraksi PDIP ialah meminta Kapolri secara berkala mengevaluasi keadaan psikologis personel Densus 88.
“Beban tugas yang berat memungkinkan terjadinya human error dan mengakibatkan kesalahan prosedural,” kata Herman Herry anggota F-PDIP.
Saat rapat kerja, tidak satu pun anggota Komisi III yang menanyakan perihal pemberian uang sebesar Rp100 juta kepada anggota keluarga Siyono oleh Densus.
Perlawanan
Kapolri pun diminta menjelaskan kronologi kematian Siyono. Versi kepolisian, Siyono melakukan perlawanan di dalam mobil yang membawanya sehingga harus dilumpuhkan oleh petugas.
“Setelah insiden itu, ia dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara dan dokter menyatakan ada peradangan di otak yang berakibat pada kematian. Setelah dikroscek, personel Densus mengakui dia menendang Siyono dengan lututnya sehingga menimbulkan patah tulang rusuk,” tutur dia.
Kapolri pun mengakui dua anggota Densus 88 yang mengawal Siyono kini tengah menjalani proses persidangan etik.
Menurut Badrodin, kesalahan anggotanya pertama tidak memborgol Siyono sehingga yang bersangkutan dapat melakukan perlawanan yang berujung pada perkelahian antara Siyono dan anggota Densus di dalam mobil. Kedua, hanya satu personel anggota Densus yang mengawal. (MI/xx)